11 Okt 2009

MALIN KUNDANG ANAK DURHAKA

Dahulu kala di Padang SUMBAR tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada seorang janda bernama Mande Rubayah.ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, karena sejak kecil Malin sudah di tinggal mati oleh ayahnya.

Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nelayan. Ibunya sudah tua dan ia hanya bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari Malin jatuh sakit, tubuhnya mendadak panas. Ibunya sangat bingun karena baru kali ini Malin jatuh sakit seperti ini. Ibunya berusaha sekuatnya untuk mengobati Malin dengan mendatangkan tabib. Akhirnya, berkat usaha kera ibunya Malin dapat di sembuhkan dan ibunya menjadi semakin sayang kepada anak semata wayangnya itu begitu juga Malin yang sangat saying kepada ibunya.



Saat sudah besar, Malin pamit kepada ibunya untuk pergi merantau menggunakan sebuah kapal besar yang kebetulan singgah di perkampungannya. “bu, ini kesempatan yang bagus untuk saya karena belum tentu setahun sekali ada kapal besar yang merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah hidup kita menjadi orang yang kaya raya”.

Meski dengan berat hati, Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi dan membekali Malin dengan 7 bungkus nasi.hari-hari berlalu angat lambat bagi Mande, setiap hari dia merenungkan anaknya dan berdo’a agar Malin di beri keselamatan dalam perjalanannya. Setiap ada kapal yang merapat dia selalu menanyakan keadaan Malin tetapi tidak ada orang yang memberikan jawaban yang memuaskan. Itulah yang dilakukan Mande Rubayah selama bertahun-tahun.

Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar, bahwa anaknya telah menikah dengan seorang putri anak bangsawan kaya raya. Ia sangat gembira mendengar kabar itu dan berdo’a agar anaknya cepat pulang untuk menjenguknya. Tapi, setelah beberapa bulan Malin tidak juga kunjung datang.

Lalu, pada suatu hari tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai. Orang kampong mengira itu adalah kapal milik seorang sultan dan mereka akan menyambutnya dengan gembira. Ketika kapal sudah merapat, tampak sepasang muda-mudi berdiri di atas anjungan. Menggunakan pakaian yang indah dan berkilaun saat terkena sinar matahari.merka bahagia karena di sambut dengan gembira oleh orang-orang kampong yang berjejer di pantai. Tentu saja di antara orang-orang kampung itu ada Mande Rubayah. Jantungnya berdenyut kencang dan yakin bawa lelaki muda itu adlah anak semata wayang nya, Malin Kundang.

Mande segera menghampiri dan memeluk erat Malin karena takut akan kehilangan anaknya lagi. Malin terpana karena di peluk wanita tua renta yang berpakaian compang camping itu. Dia tidak percaya bahwa itu adalah ibunya karena seingat Malin ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya ke mana saja. Sebelum ia sempat berfikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata ,”cuih! Wanita buruk inikah ibumu..? mengapa kau membohongi aku?”
Lalu dia meludah lagi,” bukankah dulu kau katakana bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat dengan kami?”

Mendengar kata-kata istrinya, Malin mendorong wanita itu sampai terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya dengan perlakuan anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata. “Malin,Malin anakku. Aku ini ibumu, Nak!”

Malin tidak menghiraukan perkataan ibunya, pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya karena ia malu dengan istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata,”hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau yang melarat dan dekil.

Wanita tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tak di sangka Malin yang dulu disayanginya tega berbuat demikian. MandeRubayah pingsan dan terbaring sendiri, ketika sadar Pantai Air Manis sudah sepi. Di laut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh, hatinya perih seperti ditusuk-tusuk. Tangannya di tadahkannya ke langit dan berdo’a dengan hatinya yang pilu,”ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi, tapi kalau dia memang ankkku Malin Kundang, aku mohon keadilan –Mu, ya Allah….!”

Tidak lama kemudian, cuaca yang tadinya cerah berubah menjadi gelap, hujan turun dengan sangat lebatnya dan terjadi badai yang menghantam kapal Malin di susul dengan sambaran petir. Seketika itu kapal Malin hancur berkeping-keping kemudian terhempas ke pantai terbawa ombak.

Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda, di kaki bukit terlihat kepingan kapal Malin yang telah menjadi batu. Tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia dan konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutukan dari ibunya untuk menjadi batu. Di sela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, belanak dan tenggiri yang konon ikan itu berasal dari tubuh istri Malin yang terus mencarinya.

Demikianlah sampai sekarang, jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti jeritan minta tolong manusia. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali dirinya. “ampuuunn,bu…..!ampuuuunn,buuuu….!” Konon itulah suara si Malin Kundang.




SUMBER:: BUKU CERITA RAKYAT NUSANTARA
selengkapnya di sini..

4 Okt 2009

LEGENDA BATU BETARUP

Di saat matahri berada lebih kurang dikemiringan 7 derajat di atas kaki langit sebelah timur, secara bersamaan sengatan panas cahaya matahari mulai hamper terasa, terdengar sayu-sayu suara seorang ibu memanggil-manggil nama anaknya, “oiii, kin.kin, di mane kau kin. Ngape tang da’an lalu ndangar panggelan umak mu be”. Berulang kali panggilan di tujukan buat si anak, namun si anak tersebut juga tidak muncul, sementara kekhawatiran Si ibu yang memanggil pun mulai membayangkan hal-hal yang tidak diingini pada anak semata wayang tersebut. Kekhawatiran Si ibu sangat beralasan, sebab tidak jauh dengan tempat tinggal mereka, yakni di daerah Dadau konon cerita dari mulut ke mulut di huni oleh sepasang ular sawah yang cukup besar.

Matahari kian meninggi, persis di atas kepala, kemunculan Si anak yang di harapkan juga tidak kunjung tiba. Akhirnya Si ibu yang di kenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan sebutan Mak Miskin memutuskan untuk menyusul keberadaan si anak. Beberapa peralatan sederhana pun lalu dipersiapkan, seperti parang kuting (parang yang tidak mempunyai gagang) konon dipercayai berfungsi sebagai penangkal hantu hujan panas, sebagai persiapan apabila jika diperjalanan tiba-tiba hujan panas terjadi. Namun setelah beberapa langkah kaki Mak Miskin menuju ke luar gubuk miliknya, Si anak yang di panggil sehari-hari bernama Siti Asikin pun muncul dari rimbunan hutan, sambil membawa sayuran midding/pakis(sejenis tumbuhan hutan yang dapat di sayur), dengan nafas turun naik menghampiri Si ibu. ”Mak, oiii mak”, Siti Asikin memanggil Sang ibu. “ape be Kin, ke mane kau Kin ummak kire udah di makan ular”, kata Mak Miskin kesal. Sambil merebahkan diri di serambi rumah, Siti menceritakan perjalanannya di hutan sambil di temani beberapa teman seusianya dari keluarga mak miskin di sekitar tempat tinggalnya yaitu di Kampong Parit Kongsi. Mak Miskin cukup di kenal karena kemiskinannya. Pekerjaan kesehariannya hanya mencari kayu baker untuk ditukar dengan beras dan keperluan lainnya. Karena kemiskinannya inilah maka sebagian orang di sekitarnya memandang jijk dengan kehidupan Mak Miskin.

Akibat kehidupannya yang sangat miskin, tidak jarang Mak Miskin dan anaknya mendapat perlakuan yang kurang adil dan tidak manusiawi dari orang-orang kampong tempat tinggal mereka. Jika salah seorang warga yang mengalami kehilanagn harta maupun barang berharga lainnya, kekesalan selalu ditujukan pada keluarga mak Miskin. Namun setelah dicari siapa pelaku yang sebenarnya ternyata bukan keluarga Mak Miskin yang melakukannya.

Mak Miskin hidup dengan ditemani seorang anak (semata wayang). Setelah 12 tahun silam, ketika Siti baru berumur 5 bulan Sang ayah yang sangat diharapkan sebagai penopang ekonomi keluarga telah dipanggil yang kuasa untuk selama-lamanya. Sejak saat itulah biaya hidup keluarga ditanggung sendiri oleh Mak Miskin. Kepergian Sang ayah yang sangat dicintai ternyata sebagai awal dari penderitaan keluarga Mak Miskin.

Hari demi hari dilalui Mak Miskin bersama anak semata wayang sementara bertambahnya waktu seiring dengan meningkatnya usia Si anak, penderitaan seolah betah menyelimuti keluarga Mak Miskin. Ditambah lagi sakit yang berkepanjangan di rasakn Mak Miskin seakan sebagai melengkapi penderitaan bagi keluarga itu.

Di ufuk langit sebelah timur dengan ketinggian lebih kurang 60 derajat di atas permukaan bumi, genap hari kesepuluh bulan Safar cahaya rembulan mulai kehilatan. Semntara itu di suatu rumah di adakan acara musyawarah perkawinan anak keluarga orang kaya. Sebuah keluarga yang sangat terkenal dengan kekayaannya. Hampir di merata daerah, baik wilayah Tempapan Kuala maupun Tempapan Hulu terdapat ternak sapi kepunyaan Rang Kaye (sebutan untuk orang kaya). Walaupun kekayaan yang begitu besar di miliki Rang Kaye namun ia tidak pernah zakat kepada fakir miskin seperti kehidupan Mak Miskin.

Hari pesta prkawinan sudahlah ditentukan, undangan saprahan sudah dihitung, berbagai keperluan acara pesta sudah di perhitungkan, selanjutnya giliran dari tugas Pengarah (setingkat ketua RT) untuk mengundang keluarga-keluarga yang sudah ditentukan. Namun ada kejanggalan dalam hitungan ketentuan keluarga-keluarga yang akan di undang di daerah Parit Kongsi tersebut. Di mana keluarga Mak Miskin tidak termasuk dalam undangan.

Kepada pengarah, Rang Kaye berpesan jangan sekali-kali mengundang keluarga Mak Miskin. Karena menurut Rang Kaye, kehadiran Mak Miskin hanya membuat suasana pesta terganggu karena tampang dan pakaian yang dipakai Mak Miskin sangat menjijikkan. Sekiranya pada waktu acara pesta perkawinan mereka dating, maka secepatnya di usir.

Kabar dari mulut ke mulut sudah tersebar berita bahwa genap bulan purnama bulan Safar, akan berlangsung pesta perkawinan putrid Rang Kaye. Ternyata berita ini juga terdengar oleh Siti Asikin. “mak, oiii mak, mak, oii mak” sambil berlari-lari Siti memanggil ibunya. “ ape be Kin?? Macam nak di kajarkan antu”, jawab Mak Miskin. “Mak, Sikin danger urang kaye yang rumahnye di ballah ujuong kampong kite, mao’ menikahan, inyan ke mak..?? “tanya’ Siti. “daan tau umak nong?, dise’ urang yang nyaro’ kite” jawab ssi ibu kepada anaknya. Sambil meratapi nasib yang diderita Mak Miskin kepada dirinya sendiri, ia juga menceritakan perlakuan orang-orang di sekitar tempat tinggalnya, yang kurang bersahabat dengan memandang sinis kehidupannya kepada Si anak, tak terasa di pipi Mak Miskin yang tampak keriput, mengalir air mata. “mak saggal inyan urang dangan kitte mantang-mantangkan kite urang miskin”, gerutu SIti kesal. “tapi mak, mun acare kawenan udah berlangsung Sikin nak paggi jua’ kalla’,” cetus Siti. “usah nong kau nak paggi, kalla’ kau kanna’ uer dari keramaian, “ jawab ibunya. “tapi mak, Sikin carrta inyan nak makan sapi” janji Siti kepada ibunya. “usah kin, usah” mun kau maseh nak paggi, umma’ nak lari ala’, “jawab ibunya.

Hari perkawenan sudahlah tiba, orang-orang masing-masing sibuk dengan tugasnya. Di depan rumah Rang Kaye ada beberapa orang menyiapkan tarup (tempat tambahn untuk undangan), di dalam rumah ibu-ibu menghiasi ruangan, tamu dan pelaminan kedua mempelai. Sementara di dapur ibu-ibu dengan di Bantu beberapa iarang lelaki menyiapkan masakan. Dari kejauhan asap kecil membumbung ke atas, sangat jelas sekali kelihatan. Sementara Siti yang sudah menunggu-nunggu acara ini, melihat dengan jelas dari kejauhan keramaian dari kediaman Rang Kaye.

Tanpa sepengetahuan ibunya, Siti pergi ke tempat acara pernikahan putrid Rang Kaye. Di tengah-tengah kesibukan orang-orang mempersiapkan keperluan acara perkawinan, tiba-tiba Siti muncul, dengan pakaian compang-camping. “hei babi, mao’ ape kau ke sitto’,”Tanya salah seorang yang bertugas memasak di dapur. “aku carrat na’ makan api” jawab Siti. “baiklah” jawab tukang masak, tanpa banyak Tanya lagi tukang masakpun menyerahkan bungkusan kecil dari aun simpor kepada Siti.

Dengan perasaan gembira Siti pergi berlalu sambil menuju gubuk nya tersebut. “mak,oii mak,” seru Siti pada ibunya. “na’ ngape be kin?” jawab sang ibu. “mak tullong masakn daging sapi itto’,”perintah Siti pada ibunya.’
Sambil mengambil bungkusan kecil dari si anak, Mak Miskin menanyakan dari mana diperoleh daging sapi tersebut. Siti menjawab dengan jujur, bahwa daging ini diperolehnya dari tukang masak Rang Kaye. Kagetnya bukan kepalang Mak Miskin setelah membuka bungkusan tersebut, ternyata isinya bukan daging sapi, namun bungkusan tersebut berisi daging karet yang membeku.

Dengan tangisan yang pilu, Mak Miskin sambil memeluk anaknya dan meratapi naibnya atas perlakuan orang-orang kepada anaknya. Jika tidak di beri daging sapi, mak Miskin tidak terlalu sakit hati namun dengan hinaan memberikan daging karet yang membeku inilah yang membuat Mak Miskin semakin terhina.

Hampir semalaman suntuk Mak Miskin memikirkan nasib dan penderitaan yang di alaminya, ingin rasanya ia dan anaknya pergi jauh dari tempat tinggal mereka, namun tak kuasa hati Mak Miskin meninggalkan gubuk, inilah satu-satunya peninggalan dari mendiang suami yang tercinta. Gubuk tersebut di anggap Mak Miskin sebagai saksi bisu sedikit kebahagian sewaktu berkumpul bersama ang suami tercinta.

Ternyata kesabaran manusia ada batanya, sampailah di hujung kekesalan dan pikiran yang tak menentu, Mak Miskin mendapatkan pikiran baru, entah apakah pikiran itu dari bisikan setan maupun dari ujung kepedihan penderitaan dari perlakuan orangoorang sekitarnya terhadap keluarganya. Mak misin berencana memporak porandakan acara pesta perkawinan putrid Rang Kaye. Kegembiraan dan tawa akan berganti jeritan dan tangisan yang memilukan dari seluruh warga yang berada di sekitar tempat berlangsungnya acara perkawinan.

Keesokan harinya yaitu tepat dengan waktu berlangsungnya acara perkawinan, dimana seluruh warga sibuk dengan bebagai tugas masing-masing, sementara para undangan baik dari desa itu sendiri maupun dari desa lain sudah banyak yang dating memenuhi undangan Rang Kaye, sementara Mak miskin tengah mempersiapkan rencana busuknya, yakni dengan memberi baju dan perhiasan pada kucing sehingga kelihatan sangat lucu.

Di saat keramain warga mencapai puncaknya, sementara di dalam tarup penuh di isi oleh para undangan dan anak-anak bermain-main dengan girangnya, Mak miskin melemparkan kucing yang terlihat aneh itu di tengah keramaian. Melihat tingkah laku kucing dan dandanan yang lucu, membuat setiap orang yang hadir tertawa terbahak-bahak hingga tak sadarkan diri.

Tak lama kemudian di atas awan hitam bergumpal-gumpal, angina yang sangat kencangpun menggulung-gulung tepat di atas tempat berlangsungnya acar perkawinan tersebut. Rintihan dan tangisan mulai terdengar di sana-sini jeritan yang memilukan terdengar dengan jelas, sementara itu Mak miskin sambil membawa anaknya ke suatu tempat, yaitu rerumpunan temiang (sejenis bambu), sambil mengikis parang kutingnya kepermukaan temiang. Konon temiang dapat menangkal dari amukan bencana dahsyat.

Tidak lama kemudian tempat acara berlangsungnya perkawinan itupun berubah menjadi batu. Namun jeritan tangisan terdengar sampai tujuh harilamanya dari dalam batu itu.

Mak miskin bersama anaknya selamat dari maut yang terjadi menimpa daerahnya. Pada saat ini desa Naning yang merupakan bagian dari wilayah Parit Kongsi, konon tempat terjadinya peristiwa tersebut, berubah menjadi hutan yang dipenuhi semak dan duri, namun kenangan bahwa di situ pada mulanya ada sebuah pemukiman kecil, dapat terlihat dengan keberadaan sebuah batu besar berbentuk bangun ruang trapezium cukup menjadi bukti. Wallahu alam Bisauwab (hanya Allah lah yang mengetahui kejadian sebenarnya). Batu besar yang memanjang tersebut kini di kenal dengan sebutan BATU BETARUP








SUMBER; DISKOMBUDPAR KAB. SAMBAS


selengkapnya di sini..